Dikutip Tim Hukum Prabowo soal Jokowi Neo-Orde Baru, Siapa Profesor Lindsey?
Tim hukum Prabowo Subianto-Sandiaga Uno mengutip pernyataan Prof Tim Lindsey bahwa Jokowi membuat rezim Neo-Orde Baru. Materi dalil gugatan itu menuai pro-kontra. Lalu siapa sebenarnya Lindsey?
Berdasarkan catatan topicpanas10.blogspot.com, Senin (10/6/2019), Lindsey merupakan Professor of Asian Law yang juga Director of the Centre for Indonesian Law, Islam and Society di University of Melbourne. Dengan kapasitasnya tersebut, ia kerap mengkaji berbagai dinamika hukum dan politik di Indonesia.
Salah satunya saat dua gembong Bali Nine, Andrew Chan dan Myuran Sukumaran, dieksekusi mati pada 2015. Lindsey langsung menilai eksekusi mati itu bagian dari 'bidak politik' Jokowi atas Australia. Presiden Jokowi sebagai pengambil keputusan tertinggi di Indonesia kini dinilai dalam posisi lemah dalam pemerintahannya sendiri.
"Pemerintahan Jokowi masih benar-benar berjuang keras," kata Lindsey.
Pada 2015 itu, Profesor Lindsey menyebut pemerintahan Jokowi dalam enam bulan terakhir sangat buruk. Jokowi dengan tegas mengkampanyekan antikorupsi dan berjanji menunjuk orang-orang profesional dalam kabinetnya. Namun ternyata susunan kabinetnya Jokowi sangat mengecewakan dengan masuknya orang-orang partai.
Situasi politik Indonesia, lanjut Lindsey, makin tegang dan makin memojokkan Jokowi setelah dua pimpinan KPK dan petinggi Polri menjadi tersangka dalam kasus pidana masing-masing. Lindsey memandang ada kekhawatiran dari rakyat Indonesia bahwa Jokowi tidak mampu dan tidak ingin memperjuangkan pemberantasan korupsi.
"Jadi dia adalah presiden yang tersandera, yang mengalami kesulitan politik hebat. Dia sangat rapuh. Pemerintahannya dinilai sangat mengecewakan, dan dia masih belum banyak bekerja. Dia tidak bisa menjalankan agenadanya, hingga dia bisa menyusun perundang-undangan secara teratur," jelas Lindsey.
Seberapa dekat Lindsey mendalami Indonesia? Dia mengaku dekat dengan tokoh kawakan Adnan Buyung Nasution.
"Sejak tahun 1980-1990-an, dia menjadi pembimbing dan mentor saya. Saya sendiri tak akan berkarier sebagai akademisi di bidang hukum Indonesia kalau tanpa bimbingan dari Bang Buyung. So, saya adalah seorang anak buah Bang Buyung," kata Lindsey pada 25 September 2015.
Lindsey dengan Denny Indrayana juga mempunyai pertalian akademis. Keduanya merupakan guru dan murid. Saat Denny jadi tersangka kasus korupsi di Kemenkumham, Lindsey membela Denny. Sebagai wujud kepercayaan terhadap Denny, Melbourne University tidak akan mencabut gelar guru besar di bidang hukum dan humaniora dari Denny Indrayana.
"Saya mengenalnya dengan baik. Dia orang yang jujur, terbuka, pemberani, dan seorang pakar hukum yang sangat mendukung reformasi di Indonesia. Dan teman-teman saya di fakultas ini juga memiliki pandangan serupa," ujar Lindsey pada 26 Maret 2015.
Belakangan, Denny mundur dari UGM dan menjadi pengacara. Kini ia menangani kasus Pilpres dengan menjadi kuasa hukum Prabowo-Sandiaga di MK.
"Berkaitan dengan pemerintahan yang otoriter dan Orde Baru itu, melihat cara memerintah Presiden Joko Widodo, maka sudah muncul pandangan bahwa pemerintahannya adalah Neo-Orde Baru, dengan korupsi yang masih masif dan pemerintahan yang represif kepada masyarakat sipil sebagai ciri kepadanya," demikian gugatan Prabowo yang juga ditandatangani oleh Denny Indrayana.
Berikut ini kutipan lengakap yang diambil tim Prabowo dari pernyataan Tim Lindsey:
He Cannot afford to have too many of these his enemies, and that means three is not much Jokowi can do about Indonesia's a poorly-regulated political system, which favours the wealthy and drives candidates to illegally recoup the high costs of getting elected once they are ini office.
This system has entrenched corruption among the political elite and is a key reason for their predatory approach to public procurement.
All this feeds Indonesia's continuing poor reputation for transparency, which, in turn, keeps foreign investment away, notwithstanding Jokowi's constant rhetoric that Indonesia is 'open for business' That, combined with persistent low tax revenues and red tape, has seen economic growth stagnate at 5,2 per cent, well below what is needed. The resulting high prices and lack of new jobs feed discontent.
With elections ahead in 2019, Jokowi knows he has to cater to Islamist rabble rousing and keep the oligarchs happy in order to convince the public that the should be re-elected- all will somehow keeping the police, army and Megawati's conservative nationalist political party (the Indonesia Democratic Party of Struggle, PDI-P) on side.
In These Circumstances, Jokowi probably feels he has litle choice but to dump many of his promises to civil society. Which is increasing marninalised in any case. After all, if former general Prabowo Subianto runs again against him, most of civil society will have little chance but to stick with Jokowi, even if they think he has betrayed them.
"Berangkat dari dasar pijak di atsa, bahwa Presiden petahana berpotensi terjebak dengan praktik kecurangan pemilu, maka berikut ini kami jabarkan dan buktikan bagaimana kecurangan sistematis, terstruktur, dan masif dilakukan oleh pasangan Calon Presiden dan Wakil Presiden Joko Widodo dan KH Ma'ruf Amin, sehingga pasangan capres dan cawapres 01 tersebut dibatalkan (didiskualifikasi) sebagai peserta Pilpres 2019, dan pasangan calon presiden dan wakil presiden 02, Prabowo Subianto dan Sandiaga Uno, harus dinyatakan sebagai pemenang Pilpres 2019; atau paling tidak Pilpres 2019 diulang secara nasional," demikian tuntut Prabowo.
Hingga berita ini diturunkan, topicpanas10.blogspot.com sudah meminta konfirmasi lewat e-mail ke Tim Lindsey atas pernyataannya yang dikutip tim hukum Prabowo, tetapi belum mendapat jawaban.
Comments
Post a Comment